Kolak: Takjil Manis dengan Makna Filosofis di Bulan Ramadhan
Written by Eksternal on 21 Maret 2025
Bulan Ramadhan identik dengan berbagai hidangan takjil yang menggugah selera, salah satunya adalah kolak. Makanan manis berbahan dasar pisang, ubi, dan santan ini bukan sekadar camilan berbuka puasa, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam. Nama “kolak” sendiri diyakini berasal dari kata dalam bahasa Arab khalik, yang berarti Sang Pencipta. Dengan menikmati kolak saat berbuka, masyarakat zaman dulu mengingatkan diri mereka untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah selama bulan suci.
Tidak hanya dari namanya, bahan-bahan yang digunakan dalam kolak juga memiliki filosofi tersendiri. Pisang kepok yang sering digunakan dalam kolak dihubungkan dengan kata kapok dalam bahasa Jawa, yang berarti jera atau bertobat. Ini melambangkan ajakan bagi umat Muslim untuk merenungkan kesalahan masa lalu dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu, ubi yang sering dicampurkan dalam kolak melambangkan ketabahan dan kesederhanaan, mengingat ubi adalah tanaman yang mudah tumbuh dan bergizi tinggi.
Santan, sebagai bahan utama dalam kuah kolak, juga menyiratkan pesan kebersamaan dan keikhlasan. Dalam proses memasaknya, santan harus diaduk perlahan agar tidak pecah, mirip dengan kehidupan manusia yang harus dijalani dengan kesabaran dan keseimbangan. Gula merah yang memberi rasa manis pada kolak pun memiliki filosofi tersendiri, yaitu harapan agar hidup selalu dipenuhi dengan kebaikan dan keberkahan.
Di berbagai daerah di Indonesia, kolak memiliki variasi yang unik. Di Sumatra, ada kolak biji salak yang berbahan dasar ubi dan tepung tapioka. Di Jawa, kolak pisang sering kali ditambah dengan nangka untuk memberikan aroma yang lebih harum. Bahkan, ada juga kolak durian yang populer di beberapa daerah pecinta durian.
Dengan rasa manis yang khas dan tekstur yang lembut, kolak tidak hanya mengenyangkan setelah seharian berpuasa, tetapi juga menjadi simbol penting dalam tradisi berbuka puasa di Indonesia. Tak heran jika hidangan ini terus bertahan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari kekayaan kuliner Ramadhan.