Keindahan yang Menyambut Para Pendaki di Puncak Rinjani, Edelweis Sang Bunga Abadi
Written by Eksternal on 2 Mei 2025
Di tengah kabut tipis yang menyelimuti lereng-lereng tinggi Gunung Rinjani, di antara suara desir angin dan langkah pelan para pendaki yang menapaki jalur batu terjal, tampaklah gugusan bunga putih keperakan yang tampak kontras dengan tanah vulkanik kecokelatan. Ia tak tumbuh di taman-taman kota, tak bisa dibeli di pasar bunga, dan hanya bisa ditemui oleh mereka yang bersedia mendaki hingga ke langit.
Edelweis, atau nama ilmiahnya Anaphalis javanica, adalah salah satu spesies bunga pegunungan yang langka dan endemik di Indonesia. Bunga ini tumbuh secara alami di dataran tinggi di atas 2.000 meter, terutama di gunung-gunung berapi seperti Rinjani, Semeru, Gede-Pangrango, dan Papandayan. Tidak seperti bunga lain yang mekar setiap musim dengan warna cerah dan kelopak halus, edelweis tampil dalam bentuk sederhana namun kuat — berwarna putih perak dengan tekstur seperti kapas kering, tetapi mampu bertahan hidup dalam cuaca ekstrem. Bahkan setelah dipetik, bunga ini dapat tetap terlihat utuh hingga berbulan-bulan lamanya. Inilah sebabnya ia dijuluki “bunga abadi.”
Kisah edelweis tak bisa dipisahkan dari dunia pendakian di Indonesia. Sejak dahulu, bunga ini menjadi simbol romantisme tersendiri di kalangan para pencinta alam. Tak sedikit pasangan muda yang saling memberi edelweis sebagai tanda cinta sejati, bahkan ada yang menyematkan kisah bunga ini dalam janji pernikahan mereka. Namun ironisnya, keindahan dan romantisme tersebut juga menjadi awal dari kerentanan. Edelweis sempat menjadi bunga yang hampir punah akibat ulah manusia. Pemetikannya secara besar-besaran di masa lalu menyebabkan penurunan populasi yang signifikan, hingga pemerintah mengeluarkan perlindungan hukum melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kini, memetik edelweis adalah tindakan ilegal yang dapat dikenai sanksi pidana.
Mekarnya edelweis biasanya terjadi di musim kemarau, ketika suhu stabil dan udara cukup kering. Di Rinjani, hamparan edelweis bisa dijumpai setelah melewati Pos 3 menuju Plawangan Sembalun. Saat pagi hari, bunga-bunga ini terlihat seperti titik-titik cahaya lembut di antara embun dan sinar matahari pertama yang menembus kabut. Pendaki berpengalaman menyebutnya sebagai “hadiah dari langit” — sebuah pengingat bahwa alam memberi keindahan bagi mereka yang datang dengan niat baik dan penuh rasa hormat.
“Rasanya seperti bertemu sesuatu yang sakral,” ujar Farah, pendaki asal Bandung yang melakukan ekspedisi ke Rinjani bersama komunitasnya bulan lalu. “Kami datang ke gunung bukan hanya untuk menaklukkan puncak, tapi untuk belajar rendah hati, dan edelweis adalah guru yang diam-diam mengajarkan itu.” Farah menambahkan, ia sempat menangis ketika melihat edelweis bermekaran untuk pertama kalinya. Bukan karena keindahannya semata, tapi karena ia sadar, bahwa bunga ini adalah saksi bisu betapa rentannya ekosistem yang seringkali kita anggap abadi.
Dalam budaya masyarakat lokal, edelweis juga sering dikaitkan dengan kesucian dan perlindungan roh-roh leluhur. Di beberapa daerah, bunga ini digunakan dalam upacara adat sebagai lambang keberanian dan kesabaran. Hal ini mempertegas bahwa keberadaan edelweis bukan hanya penting secara ekologis, tapi juga memiliki nilai budaya dan spiritual yang dalam bagi masyarakat sekitar.
Namun, pelestarian edelweis bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau petugas taman nasional. Kini, banyak komunitas pendaki dan relawan lingkungan yang secara aktif mengkampanyekan pentingnya menjaga bunga abadi ini. Kampanye seperti “Jangan Petik Edelweis”, “Cukup Difoto, Jangan Dibawa Pulang”, dan program adopsi edelweis mulai digencarkan di media sosial dan pos pendakian. Upaya ini disambut baik oleh generasi muda yang semakin sadar akan pentingnya konservasi dan keberlanjutan alam.
Edelweis, dengan segala keindahan dan filosofi yang menyertainya, bukan hanya bunga yang tumbuh di tanah tinggi. Ia adalah simbol harapan bahwa alam tetap bisa bertahan, selama manusia mampu belajar untuk cukup dengan memandang dan mengagumi — tanpa harus memiliki. Ia adalah bukti bahwa sesuatu yang sederhana, rapuh, dan terbatas, bisa menjadi abadi jika kita menjaganya dengan cinta.
Dan di puncak gunung yang sunyi, bunga itu tetap mekar. Diam, tapi berbicara lebih lantang dari kata-kata.